Beranda | Artikel
Larangan Tathayyur
1 hari lalu

Larangan Tathayyur adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Riyadhus Shalihin Min Kalam Sayyid Al-Mursalin. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Mubarak Bamualim, Lc., M.H.I. pada Selasa, 3 Jumadil Awal 1446 H / 5 November 2024 M.

Kajian Tentang Larangan Tathayyur

Pada kesempatan ini, kita memasuki bab baru tentang larangan terhadap tathayyur, atau mempercayai pertanda buruk. Tathayyur adalah anggapan seseorang ketika mendengar atau melihat sesuatu yang dianggap sebagai pertanda buruk sebelum melakukan suatu usaha atau upaya. Misalnya, seseorang yang mendengar kicauan burung tertentu atau melihat tanda tertentu, kemudian beranggapan bahwa usahanya akan gagal atau merugi.

Tathayyur merupakan bentuk keraguan dalam diri manusia, tetapi bagi seorang yang bertauhid dan beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla, anggapan-anggapan semacam ini tidak seharusnya menjadi penentu atau pembatas dalam mengambil keputusan atau melakukan usaha.

…فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ…

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah” (QS. Ali ‘Imran[3]: 159)

Ketika hendak mengerjakan sesuatu, seorang Muslim hendaknya bertekad dan mengerjakannya. Jangan membiarkan pandangan atau suara tertentu mempengaruhinya.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

«لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُني الفَألُ» قالُوا: وَمَا الفَألُ؟ قَالَ: «كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ»

“Tidak ada penularan penyakit secara otomatis (tanpa izin Allah), dan tidak ada tathayyur. Aku sangat takjub dengan fa’l (optimisme)” Para sahabat bertanya, “Apakah fa’l itu?” Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Yaitu ucapan-ucapan yang baik” (Muttafaqun ‘alaihi).

Para ulama, ketika menjelaskan hadits ini, menyebut bahwa maksud dari lā adwā adalah bahwa suatu penyakit tidak akan berpindah kepada orang lain kecuali dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Artinya, tidak ada perpindahan penyakit dari seseorang ke orang lain tanpa kehendak Allah. Jika seseorang terkena suatu penyakit dari orang lain, maka semua itu terjadi dengan ketentuan-Nya.

Dalam hadits ini, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menekankan bahwa setiap orang yang tertimpa penyakit, maka tidak mungkin penyakit itu berpindah kepada dirinya tanpa takdir Allah. Semua yang menimpa seorang hamba—termasuk penyakit—adalah bagian dari ketetapan-Nya. Bahkan, segala yang terjadi di alam semesta ini adalah atas izin dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda “Lā adwā”, artinya pindahnya suatu penyakit dari seseorang kepada orang lain. Suatu penyakit tidak dapat berpindah dari seseorang ke orang lain dengan sendirinya, akan tetapi itu terjadi dengan takdir Allah. Jika Allah tidak menakdirkan seseorang terkena penyakit dari orang lain, maka penyakit itu tidak akan menjangkiti dirinya. Meskipun Allah menjadikan sebab-sebab dalam bentuk kontak fisik, seperti pertemuan atau bersalaman, tetapi semua ini tetap berada dalam kuasa dan kehendak Allah.

Sering kali, bahkan ketika seseorang berinteraksi langsung dengan orang yang berpenyakit serius seperti kusta, penyakit tersebut tidak berpindah. Ini semua adalah bukti kekuasaan Allah yang menentukan apakah penyakit akan menular atau tidak.

Kadang-kadang, memang ada orang yang tertular penyakit dari orang lain saat berinteraksi dengannya, namun hal ini tidak luput dari ketentuan Allah Ta’ala. Allah-lah yang mentakdirkan penyakit tersebut berpindah kepada orang yang memang ditetapkan-Nya untuk terkena penyakit tersebut.

Kemudian, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Wala thiyarah”. Thiyarah yaitu beranggapan bahwa suatu pertanda akan mendatangkan kesialan. Misalnya, seseorang yang mengalami kerugian atau kecelakaan, jangan sampai mengaitkan musibah tersebut dengan suatu pertanda yang dilihat atau suara yang didengar sebelumnya, seperti lolongan anjing atau suara burung tertentu. Mengaitkan peristiwa dengan hal-hal semacam ini tidak dibenarkan bagi orang yang bertauhid kepada Allah Ta’ala, sebab segala sesuatu yang menimpa manusia adalah ketentuan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan akibat dari pertanda tertentu.

Pada zaman jahiliah, kepercayaan semacam ini cukup lazim. Misalnya, jika seseorang hendak pergi berdagang, dan ketika keluar rumah dia melihat seekor burung terbang ke kanan, dia akan melanjutkan perjalanannya karena menganggap itu pertanda baik. Namun, jika burung itu terbang ke kiri, dia akan menganggapnya sebagai pertanda buruk dan memutuskan untuk membatalkan perjalanan, karena takut akan mengalami kerugian.

Pada zaman dahulu, khususnya di masa jahiliah, banyak orang yang beranggapan bahwa hal-hal tertentu bisa mendatangkan keberuntungan atau kerugian. Misalnya, mereka menganggap arah terbang burung atau suara binatang sebagai tanda yang menentukan hasil dari apa yang akan mereka lakukan. Namun, Islam datang untuk menghapus semua anggapan seperti itu. Apa pun yang terjadi—entah itu kerugian, keuntungan, penyakit, dan sebagainya—semua adalah ketentuan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan dari pertanda yang dilihat atau suara yang didengar.

Maka tidak boleh seorang muslim menganggap suatu makhluk atau peristiwa sebagai sumber kesialan. Keyakinan seperti itu menjerumuskan seseorang pada kesyirikan, sebab hanya Allah yang menentukan segala yang terjadi dalam hidup kita.

Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Dan yang mengagumkan aku yaitu seorang yang selalu optimis.” Seorang muslim hendaknya selalu optimis dan tidak putus asa atau kecil hati saat hendak melakukan sesuatu. Optimisme, disertai tawakal kepada Allah, akan mendatangkan kebaikan baginya.

Ini merupakan bagian dari tauhid yang harus tertanam dalam diri kita. Seseorang tidak boleh menganggap sial pada sesuatu, tetapi hendaknya ia selalu yakin kepada Allah Ta’ala dan selalu optimis.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian kajian yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54674-larangan-tathayyur/